6 Kesalahan Komunikasi Orang Tua Pada Anak

Ayah adalah cinta pertama anak perempuan, dan ibu adalah awalan kasih dari semua kisah. Tapi faktanya, tidak semua anak dekat dengan kedua orang tuanya. Ada yang hanya dekat dengan ayah, atau dekat dengan ibu saja. Sebagian juga ada yang tidak dekat dengan keduanya. Mengapa bisa begitu?

Hal tersebut bisa saja terjadi karena kita pernah mengalami momen-momen tidak menyenangkan bersama mereka di masa kecil. Penyampaian nasihat yang tidak tepat bahasa maupun caranya, membekas dan tanpa sadar membentuk pribadi diri kita. Jika kita melihat dari definisi komunikasi, adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih agar tercapai kesepahaman baik antara keduanya. Sebagaimana proses komunikasi tersebut, kita harus pahami bahwa ada dua individu atau lebih yang terlibat dan saling memahami. Sayangnya, dalam komunikasi orang tua dan anak, hal wajib tersebut sering tidak terjadi.

Mendengarkan dan menerima

Kunci komunikasi adalah mendengarkan lebih dahulu, baru memberikan respon. Konsep mendengarkan ini sudah dihadirkan lewat indera pendengaran kita yang diciptakan sepasang, tidak seperti mulut yang hanya 1 saja. Ini bisa kita refleksikan bahwa mendengar harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Mendengar menjadi awalan untuk memulai komunikasi yang efektif antar manusia. Ini tidak hanya berlaku untuk komunikasi antar orang dewasa saja, melainkan juga perlu dilakukan ketika para orang tua berkomunikasi dengan anak.

Komunikasi dengan makna mengancam, kerap digunakan oleh orang tua kita. Contohnya. “Kalau gak nurut, Ibu gak akan ajak ya pergi ke pasar!”. Atau, “Kalau kamu gak diam, nanti papa pukul!”. Pernahkah kamu mendapatkan kalimat-kalimat seperti ini?

Tanpa sadar, kalimat ancaman seperti ini yang dilakukan secara berulang oleh orang tua, akan membentuk anak menggantungkan motivasi secara eksternal. Karena anak hanya patuh jika ada ancaman atau hadiah yang dijanjikan oleh orang tua.

Menurut Nanan Nuraini (founder @literartcy_) dalam paparannya di webinar Tanah Air Berbagi 26 Januari 2020 lalu, ada 6 hambatan yang terjadi dalam proses mendengarkan:

  1.       Pendapatku yang paling benar.

Orang tua tidak bisa menangkap informasi apapun yang disampaikan oleh anak karena kita sibuk mempertahankan dan melindungi pendapat pribadi sebagai orang dewasa. Ada konsep merasa diri paling benar, dan argumen diluar itu adalah salah. Ada pemahaman juga bahwa anak kecil tidak tahu apa-apa, sehingga membuat kita enggan berempati dengan pendapat mereka.

  1.       Mencari celah untuk nimbrung dalam obrolan

Pada dasarnya manusia egois. Ketika anak belum bisa menyampaikan gagasannya dengan sempurna, kita sibuk mencari jeda dan celah untuk bisa masuk ke pembicaraan. Maka tidak heran kalau kita jadi tidak fokus mendengarkan pesan yang disampaikan oleh anak. Hasilnya, anak merasa tidak dihargai dan didengarkan.

 

  1.       Ceritamu membosankan

Persepsi ini muncul ketika anak sedang bercerita. Dunia anak yang masih terbatas dibandingkan dunia dewasa yang sangat luas, memunculkan rasa seperti, “ah cerita apaan sih, aku udah tau, trus menariknya apa”. Nah, hal itu lah yang menyebabkan kita tidak bisa menangkap maksud anak dengan utuh karena kita tidak mendengarkan sepenuh hati.

  1.       Aku tau apa yang mau kamu katakan

“Sssttt, Ibu tau, kamu mau minta jajan lagi kan?”

Orang tua biasanya merasa sudah tau apa yang anak kita akan ucapkan. Padahal orang tua mungkin saja sok tahu, karena orang tua sibuk dengan asumsi yang ada di pikirannya. Alhasil, kita kembali gagal mencerna maksud sebenarnya dari sebuah percakapan. Padahal, bisa jadi gagasan yang akan diucapkan adalah ide jenius kan?

  1.       Aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan

Ini biasanya terjadi dalam percakapan antar orang dewasa. Seringnya orang dewasa yang menceritakan keluhan atau masalah yang disampaikannya hanya ingin didengarkan. Padahal mereka sebenarnya sudah tahu apa yang sebenarnya perlu dilakukan untuk mengatasi masalahnya tersebut.

  1.       Yang penting itu ceritaku, bukan ceritamu

Kita disibukkan dengan diri kita, sehingga kehilangan empati dengan keadaan orang lain. Saat anak bercerita, orang dewasa dengan keluasan pandangannya secara naluriah justru memberikan petuah yang panjang dan tidak jarang yang melebar dari konteks persoalan anak. Masing-masing fokus pada cerita kita saja, dan karenanya kita sulit memahami pesan yang disampaikan oleh lawan bicara kita.

Ada berapa banyak kesalahan yang pernah kita lakukan? Semakin banyak mengalami, bisa jadi diri kita adalah individu yang kurang empati. Karena empati berawal dari kemauan untuk mendengarkan dengan kedua telinga, dan merepson dengan hati.

Namun itu semua bisa dilatih. Salah satu caranya dengan mendorong diri berlatih untuk mendengar aktif, dengan beberapa cara:

  1.       Berusaha sepenuh hati untuk memahami makna yang disampaikan oleh lawan bicara
  2.       Berusaha memahami rasa yang disampaikan oleh lawan berbicara
  3.       Berusaha melihat fakta dibalik bahasa tubuh dan intonasi
  4.       Mau klarifikasi pernyataan yang belum dipahami oleh kita

 

(Artikel oleh: Sari Lestari, Editor: Afs)