Merawat Masa Depan Di Masa Pandemi
Indonesia memiliki 7 juta anak yang mengalami stunting sebelum pandemi COVID-19, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2018. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara kelima di dunia dengan balita stunting terbanyak menurut data dari UNICEF. Selain itu, nyaris setengah dari total ibu hamil mengalami anemia karena makanan yang dikonsumsi tidak mengandung cukup vitamin dan mineral (zat gizi mikro) yang diperlukan. Permasalahan di atas kemungkinan akan memburuk karena adanya pandemi COVID-19.
Pelayanan posyandu menjadi salah satu alternatif yang bisa diandalkan untuk mengurangi resiko permasalahan gizi balita yang memburuk saat pandemi. Akan tetapi, sejak Maret 2020 kegiatan posyandu tidak dilakukan seperti biasa, ada pembatasan kegiatan yang dilakukan. Posyandu hanya dibuka untuk melayani bayi/balita yang membutuhkan imunisasi saja. Sedangkan untuk kegiatan pemantauan tumbuh kembang (tinggi dan berat badan) untuk sementara ditiadakan. Keadaan ini berlaku hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kawasan Relokasi Siosar, Karo, Sumatera Utara.
Sebagai daerah yang kesadaran posyandunya masih dalam proses dibangun, pembatasan aktivitas posyandu di area Kawasan Relokasi Siosar tentu ini tidak bisa terus dibiarkan. Dengan penuh kehati-hatian, Juli 2020 posyandu pun kembali dibuka dengan protokol-protokol kesehatan yang harus dipatuhi oleh kader, orang tua balita, dan tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan posyandu. Tenaga kesehatan atau bidan desa wajib memakai alat pelindung diri lengkap yang terdiri dari baju hazmat, face shield, masker, dan sarung tangan. Sedangkan kader posyandu yang bertugas dan orang tua yang datang diwajibkan menggunakan masker. Namun pada praktiknya, tidak semua orang tua yang datang ke posyandu menggunakan masker. Alasannya sangat beragam, ada yang lupa membawa, tidak punya masker, dan juga merasa tidak nyaman saat menggunakan masker.
Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena membuka potensi bahaya bagi seluruh peserta posyandu di hari buka posyandu. Cara untuk menyiasatinya adalah dengan membuat peraturan yang wajib ditaati oleh tiap orang tua, yaitu jika orang tua balita tidak menggunakan masker maka mereka harus pulang dan kembali lagi dengan menggunakan masker. Tapi bukan Siosar namanya jika tidak menantang. Peraturan ini tentu tidak selalu bisa dipraktikkan. Sebab ada kemungkinan orang tua balita tidak kembali lagi ke posyandu jika kader meminta mereka untuk pulang mengambil masker. Entah alasan faktor kesibukan lain, atau alasan paling mujarabnya adalah harus lekas pergi ke ladang untuk bekerja.
Sehingga, trik paling tepat mengantisipasi hal tersebut adalah dengan memberikan peringatan dan mengingatkan para orang tua untuk wajib menggunakan masker di posyandu bulan selanjutnya. Kader posyandu pun tidak boleh alfa untuk mengingatkan protokol tersebut. Selain persoalan masker, infrastruktur juga jadi pekerjaan rumah bagi beberapa posyandu. fakta lapangannya adalah tidak semua posyandu di Siosar memiliki fasilitas kran air. Didukung dengan ketersediaan air yang hanya mengalir di jam-jam tertentu saja. Posyandu harus lebih kreatif menyediakan tempat cuci tangan, dan menggantikannya dengan hand sanitizer yang bisa digunakan oleh orang tua balita, kader dan bidan desa saat di posyandu.
Pembatasan aktivitas posyandu ternyata berdampak pada angka partisipasi orang tua yang datang ke posyandu. Jika sebelum pandemi angka kehadiran selalu diatas 70%, kini saat posyandu dibuka kembali di masa pandemi, tidak sampai 50% orang tua yang hadir. Menurut Kader posyandu, hal itu terjadi karena ada beberapa orang tua balita yang masih takut datang ke keramaian, dan juga ada yang belum mendapatkan informasi bahwa posyandu sudah dibuka kembali. Terlepas dari kondisi pandemi, masyarakat di Kawasan Relokasi Siosar memang kurang mendapatkan informasi kesehatan khususnya tentang kesehatan ibu dan anak. Biasanya untuk menambah paparan informasi tentang kesehatan ibu dan anak, para kader dan bidan desa melakukan penyuluhan secara personal di meja konseling dan membuat penyuluhan kelompok. Namun kembali lagi dengan kondisi pandemi, pelayanan posyandu tidak dilakukan dengan sistem 5 meja lagi, hanya meja pendaftaran, penimbangan, dan pelayanan kesehatan saja yang berfungsi. Kegiatan penyuluhan yang biasanya dilakukan tidak berjalan seperti biasa. Sehingga mau tidak mau mengurangi intensitas paparan informasi kesehatan demi ringkasnya waktu pelayanan di posyandu dan menghindari adanya penumpukan orang di dalam ruangan posyandu.
Kawasan Relokasi Siosar bukanlah daerah dengan kasus stunting akut. Namun kesadaran orang tua dalam pemenuhan gizi anak masih rendah. Ditambah dengan kondisi pandemi, hasil penimbangan pada bulan Juli saat pertama posyandu dibuka kembali, kader menemukan balita yang mengalami penurunan status gizi dari normal menjadi gizi kurang. Tidak banyak memang, justru lebih banyak balita yang naik berat badannya. Namun tidak boleh terlalu cepat senang, sebab belum semua balita di kawasan ini yang terpantau tumbuh kembangnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah penurunan kehadiran orang tua di hari buka posyandu saat pandemi.
Hal-hal yang teknis yang menjadi tidak ideal ini menjadi perhatian kader dan bidan desa di Kawasan Relokasi Siosar. Kader perlu mencari jalan agar bulan selanjutnya lebih banyak balita yang hadir sehingga bisa terpantau status gizinya. Pilihan kunjungan rumah rutin oleh kader untuk balita dengan masalah gizi tentu belum bisa dijadikan solusi, sebab hal ini belum diperbolehkan. Padahal momen kunjungan ini jadi wadah edukasi yang efektif dalam memberikan penjelasan lebih detail kepada orang tua balita. Orang tua pun dapat diberikan motivasi secara privat oleh kader agar bisa meningkatkan status gizi balitanya secara bertahap.
Mencegah penyebaran COVID-19 adalah prioritas, namun tetap perlu memperhatikan upaya-upaya dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi. Tidak bisa dilakukan oleh kader posyandu dan bidan saja, namun sinergi dengan seluruh pihak lintas program dan juga sektor agar kegiatan posyandu di masa pandemi bisa lebih optimal dan taat protokol kesehatan. Sehingga meski pandemi belum terlewati, para bayi dan balita tetap terpantau tumbuh kembangnya, dan tidak melewatkan masa emasnya untuk tumbuh optimal sebagai calon generasi unggul di masa depan.
(Penulis: Ria Kesuma Perdani)