Category: Artikel

Balita Sehat Dari Kebiasaan Makan Yang Baik

Tanah Air Berbagi yang diinisiasi oleh Tanah Air Foundation kembali diadakan di pekan Vitamin A nasional Februari lalu. Seminar ini dilaksanakan melalui platform zoom bertajuk Cerdas Meramu Kebiasaan Makan SI Kecil. Webinar diselenggarakan pada Minggu (28/02) Pukul 10.00 – 11.15 WIB yang diikuti oleh 28 peserta, termasuk para kader posyandu dan puskesmas Siosar dimana Tanah Air Foundation sedang melakukan kampanye. Acara kali ini dipandu oleh Masyrurah dengan Narasumber Hesti Permatasari Selaku Dosen Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman. Hesti juga tergabung dalam tim perguruan tinggi pendamping stunting pada lobus Kementerian Kesehatan pada tahun 2019 dan 2020.

Di sesi pembuka, Hesti menyampaikan terkait bagaimana pola makan dan cara meramu makanan sangat mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Karena berdasarkan pengalaman Hesti sebagai kader di lingkungan rumahnya sendiri, masih banyak yang belum menyadari bahwa tumbuh dan kembang anak harus diperhatikan sejak dini dan membutuhkan perhatian yang lebih. Penekanan pola makan pada anak menjadi kunci menghadirkan generasi yang sehat, dan bukan pada menu yang dimakan sehari-harinya. 

Hesti menjelaskan bahwa jika tumbuh dan kembang anak tidak berjalan dengan baik dapat ditandai dengan kurangnya pertambahan tinggi dan berat badan, lingkar kepala dalam ukuran tidak normal, serta pertumbuhan gigi yang tidak sesuai dengan waktu ideal, maka perlu dicurigai akan kemungkinan anak tidak sehat bahkan mengalami stunting. Stunting sendiri merupakan kondisi dimana tinggi badan tidak sesuai dengan umur anak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Perhitungannya diawali sejak usia janin hingga usia dua tahun atau seribu hari pertama kehidupan. 

Stunting dapat disebabkan oleh beberapa hal, mulai dari asupan ASI yang tidak sesuai kebutuhan, pola asuh yang tidak tepat, anak sering mengalami sakit, atau bahkan kondisi kehamilan si ibu yang tidak baik. Kondisi stunting menjadi momok yang mengerikan karena dampak panjang yang ditimbulkannya. Stunting dapat mempengaruhi perkembangan otak anak yang otomatis akan mempengaruhi kecerdasan anak tersebut. 80% kecerdasan anak akan terbentuk pada seribu hari pertama kehidupannya, maka jika ada faktor pengganggu dalam masa tumbuh ini, perkembangan otak anak tidak akan maksimal. Dampak panjangnya yang dialami anak tersebut, adalah menurunnya produktivitas anak saat dewasa. Sehingga sudah sewajarnya kita perlu untuk mencegah stunting sedini mungkin. 

Hesti membagikan tips agar orang tua dapat menjaga anak tetap sehat. Pertama orang tua perlu mengenali ciri perkembangan anak terlebih dahulu. Misalnya, pada usia balita anak sudah mulai mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya, mulai bermain di luar rumah, sehingga resiko anak untuk terpapar penyakit maupun perilaku hidup yang kurang sehat juga semakin tinggi. Dengan mengenal cirinya, maka orang tua bisa mengarahkan dan mengawasi dengan tepat.

Selain tips-tips menjaga anak  tetap sehat, Hesti juga memberikan tips agar orang tua dapat mencegah stunting sejak dini di masa pandemi. Rekomendasi pertama, orang tua harus membiasakan makan tiga kali sehari bersama keluarga dengan menu beragam. Kedua, biasakan untuk mengonsumsi protein terkhusus protein hewani karena lebih mudah untuk diserap. Ketiga, batasi konsumsi manis dan asin untuk anak karena ada lemak tersembunyi didalamnya. Keempat, orang tua harus menjauhkan anak dari makan cepat saji/fast food karena kandungan lemak dan garam yang tinggi. Kelima, biasakan anak untuk minum air putih yang cukup. Keenam, biasakan untuk bermain dan melakukan aktivitas bersama setiap hari. Ketujuh, jaga kebersihan diri anak dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Dan terakhir, menunda memeriksakan balita ke fasilitas kesehatan kecuali dalam keadaan darurat. 

Hest menutup sesi sharing kali ini dengan sebuah pesan bahwa orang tua dan keluarga adalah kunci untuk menghadirkan anak dengan kebiasaan makan yang baik. Dan tidak perlu bingung untuk memantau tumbuh kembang terutama tinggi anak, karena orang tua dapat menggunakan aplikasi gawai yaitu Growth Chart yang yang tidak berbayar. (afs)

Liputan oleh: Muhammad Yoga

 

Kampanyekan  #PesanIbu, Tanah Air Foundation Ajak Masyarakat Bantu Pengungsi Sinabung Cegah Stunting

Sejak Februari 2020, Indonesia menjadi salah satu negara yang terpapar corona virus disease 19 (disingkat; COVID-19). Berbagai macam kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mencegah luasnya penularan virus. Meskipun satu tahun telah berlalu, penyebaran virus ini masih tetap tinggi. Hingga tanggal 23 Februari 2021, berdasarkan data dari Satgas Penanganan Covid-19 tercatat 1.29 juta jiwa masyarakat Indonesia telah terpapar virus ini. 34.691 jiwa diantaranya dinyatakan meninggal dunia dengan angka positivity rate 17,59%.

Keberadaan virus ini tentu menghambat seluruh aktivitas di masyarakat. Selain dampak ekonomi yang sudah pasti dirasakan oleh semua orang, ada ancaman lain besar lain yang tidak kita sadari mengintai berkat pandemi. Ancaman itu adalah stunting/kurang gizi kronis sebagai akibat terbatasnya kegiatan posyandu sebagai garda depan kesehatan ibu dan balita di daerah. Seperti yang kita tahu, bahwa posyandu adalah jembatan informasi kesehatan untuk ibu dan balita. Jika posyandu berhenti atau tidak direspon baik oleh masyarakat karena takut tertular, maka informasi dan pemantauan tumbuh kembang balita jadi terhambat. Dampak fatalnya, balita di masa pandemi ini bisa menyumbang generasi masa depan yang tidak unggul.

Siosar, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, adalah salah satu daerah yang terdampak. Posyandu di 3 desa tidak bisa berjalan maksimal karena pandemi. Awalnya sempat terpaksa tutup. Kemudian bisa buka kembali di pertengahan tahun 2020 dengan pembatasan pelayanan. Saat pemerintah menggalakkan kampanye #PesanIbu di Oktober 2020, sungguh disayangkan ibu dan balita beserta kader posyandu di Siosar tidak punya kemewahan untuk menerapkannya. Ditambah lagi dengan para ibu yang masih was-was untuk mendatangi hari buka, yang memang notabene dihadiri oleh banyak orang. Kondisi di lapangan, para kader terbatas dengan prasarana yang dimiliki Posyandu, selain itu tidak semua ibu balita mau mengenakan masker saat ke posyandu. Alasannya ada yang merasa pengap, ada yang tidak punya masker. Edukasi mengenai kesehatan ibu balita pun tentu menjadi terhambat.

#PesanIbu sarat kegiatan sederhana

Pada dasarnya, #PesanIbu terdiri dari kegiatan yang sederhana; menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun, menghindari kerumunan, dan juga menjaga jarak. Akan tetapi, kondisi posyandu di daerah memang tidak seideal yang diharapkan. Posyandu di 3 desa di Siosar ini sempat mengalami penurunan kunjungan ibu dan balita lebih dari 50%. Selain merasa was-was, alasan para ibu adalah kurangnya masker, faceshield, fasilitas cuci tangan, desinfeksi posyandu, serta edukasi posyandu masa pandemi tidak mudah untuk dipenuhi.

Dari kondisi ini, Tanah Air Foundation (TAF) menginisiasi kampanye Bantu Pengungsi Sinabung Cegah Stunting untuk membantu ibu balita dan kader posyandu siosar agar bisa menerapkan #PesanIbu, dan dimudahkan melakukan kegiatan posyandu secara ideal. Namun tentunya, bukan hanya pelaksanaan posyandu saja yang ingin dituju, tapi kebaikan untuk Tanah Air yaitu terhindarnya kondisi stunting pada balita Siosar akibat terhambatnya proses pelayanan kesehatan di posyandu.

Kampanye #PesanIbu ini tidak hanya ditujukan bagi warga ibukota saja, namun seluruh lapisan masyarakat. Begitupun kampanye Bantu Pengungsi Sinabung Cegah Stunting bukan hanya tentang menolong sesama, tapi menyelamatkan Tanah Air yang kita cintai dari ledakan generasi yang tidak berkualitas.

Dukungan masyarakat Indonesia menjadi kunci utama kesuksesan kampanye ini. Membantu ibu balita dan kader dari pandemi lewat #PesanIbu, dan menjaga Tanah Air dari bencana stunting. Karena melindungi diri sendiri dengan #PesanIbu sama artinya menjadi pahlawan bagi orang lain, khusunya anak-anak yang membutuhkan kegiatan posyandu.

Artikel: Muhammad Yoga Pratama

Editor: Af Sinta

Menjadi Relawan, Cara Anak Muda Merawat Tanah Air  

Tanah air terlalu besar untuk dikerjakan sendirian –Henry Vienayoko (ketua tanah air foundation)

Dibuka dengan sebuah refleksi dari ketua yayasan, Jumat 11 Februari 2021 jadi hari bersejarah bagi Tanah Air Foundation (TAF). 23 anak muda berkumpul dengan semangat yang sama yaitu keinginan berkontribusi pada Tanah Air. Mereka adalah para relawan yang secara suka rela mendaftar, dan kemudian terpilih untuk membersamai Tanah Air membantu para pengungsi Sinabung dari dampak pandemi Covid-19.

Temu relawan batch 1 kali ini diadakan secara virtual. Dibuka dengan pemaparan tentang kampanye yang sedang dilakukan, lalu dilanjutkan dengan bounding bersama divisi masing-masing relawan. Para relawan terbagi dalam 3 divisi besar, yaitu sosial media, webinar, dan juga modul. Divisi-divisi tersebut dibagi lagi menjadi bagian kecil yaitu sosial media dengan content creator dan desain grafis, webinar dengan plan and strategy, dan field executive, serta divisi modul dengan content expert dan editor content. Meski berbeda tugas, 3 divisi ini dirancang untuk saling mendukung dalam upaya menyukseskan kampanye #BantuPengungsiSinabungCegahStunting.

Pandemi, Ajang Bertemunya Anak Muda Terbaik

Dibalik serentetan kerugian dari pandemi yang tak bekesudahan, nampaknya kita tetap perlu berterima kasih pada pandemi. Perubahan cara pertemuan dari luring menjadi daring, mempermudah kita untuk berjejaring dengan individu bertalenta terbaik yang berbeda lokasi dengan kita. Seperti para relawan TAF Batch 1, mereka berasal dari berbagai daerah di Tanah Air. Mulai dari Medan, Riau, Jakarta, hingga Surabaya. Jarak dan media memang terbentang jauh, tapi semangat para relawan untuk berbakti tetaplah sama dan dapat kami rasakan dari balik layar kaca.

Selain berbeda lokasi, relawan Tanah Air Foundation batch 1 berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang berlatar peneliti, mahasiswa, juga bidan. Keragaman ini memberi warna tersendiri dan menjadi kekuatan kampanye #BantuPengungsiSinabungCegahStunting. Kolaborasi tersebut harapannya dapat menghasilkan modul untuk pendampingan kader posyandu, penyebaran informasi stunting dalam webinar online, dan visual-visual menarik berkaitan dengan stunting dan kampanye.

Bergabungnya anak muda ini adalah harapan baru bagi Tanah Air Foundation. Agar semakin cepat membuat dampak, dan semakin luas memberi kebermanfaatan. Seperti yang dikatakan oleh Henry Vienayoko, bahwa Tanah Air terlalu besar untuk dikerjakan sendirian. (afs)

 

6 Kesalahan Komunikasi Orang Tua Pada Anak

Ayah adalah cinta pertama anak perempuan, dan ibu adalah awalan kasih dari semua kisah. Tapi faktanya, tidak semua anak dekat dengan kedua orang tuanya. Ada yang hanya dekat dengan ayah, atau dekat dengan ibu saja. Sebagian juga ada yang tidak dekat dengan keduanya. Mengapa bisa begitu?

Hal tersebut bisa saja terjadi karena kita pernah mengalami momen-momen tidak menyenangkan bersama mereka di masa kecil. Penyampaian nasihat yang tidak tepat bahasa maupun caranya, membekas dan tanpa sadar membentuk pribadi diri kita. Jika kita melihat dari definisi komunikasi, adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih agar tercapai kesepahaman baik antara keduanya. Sebagaimana proses komunikasi tersebut, kita harus pahami bahwa ada dua individu atau lebih yang terlibat dan saling memahami. Sayangnya, dalam komunikasi orang tua dan anak, hal wajib tersebut sering tidak terjadi.

Mendengarkan dan menerima

Kunci komunikasi adalah mendengarkan lebih dahulu, baru memberikan respon. Konsep mendengarkan ini sudah dihadirkan lewat indera pendengaran kita yang diciptakan sepasang, tidak seperti mulut yang hanya 1 saja. Ini bisa kita refleksikan bahwa mendengar harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Mendengar menjadi awalan untuk memulai komunikasi yang efektif antar manusia. Ini tidak hanya berlaku untuk komunikasi antar orang dewasa saja, melainkan juga perlu dilakukan ketika para orang tua berkomunikasi dengan anak.

Komunikasi dengan makna mengancam, kerap digunakan oleh orang tua kita. Contohnya. “Kalau gak nurut, Ibu gak akan ajak ya pergi ke pasar!”. Atau, “Kalau kamu gak diam, nanti papa pukul!”. Pernahkah kamu mendapatkan kalimat-kalimat seperti ini?

Tanpa sadar, kalimat ancaman seperti ini yang dilakukan secara berulang oleh orang tua, akan membentuk anak menggantungkan motivasi secara eksternal. Karena anak hanya patuh jika ada ancaman atau hadiah yang dijanjikan oleh orang tua.

Menurut Nanan Nuraini (founder @literartcy_) dalam paparannya di webinar Tanah Air Berbagi 26 Januari 2020 lalu, ada 6 hambatan yang terjadi dalam proses mendengarkan:

  1.       Pendapatku yang paling benar.

Orang tua tidak bisa menangkap informasi apapun yang disampaikan oleh anak karena kita sibuk mempertahankan dan melindungi pendapat pribadi sebagai orang dewasa. Ada konsep merasa diri paling benar, dan argumen diluar itu adalah salah. Ada pemahaman juga bahwa anak kecil tidak tahu apa-apa, sehingga membuat kita enggan berempati dengan pendapat mereka.

  1.       Mencari celah untuk nimbrung dalam obrolan

Pada dasarnya manusia egois. Ketika anak belum bisa menyampaikan gagasannya dengan sempurna, kita sibuk mencari jeda dan celah untuk bisa masuk ke pembicaraan. Maka tidak heran kalau kita jadi tidak fokus mendengarkan pesan yang disampaikan oleh anak. Hasilnya, anak merasa tidak dihargai dan didengarkan.

 

  1.       Ceritamu membosankan

Persepsi ini muncul ketika anak sedang bercerita. Dunia anak yang masih terbatas dibandingkan dunia dewasa yang sangat luas, memunculkan rasa seperti, “ah cerita apaan sih, aku udah tau, trus menariknya apa”. Nah, hal itu lah yang menyebabkan kita tidak bisa menangkap maksud anak dengan utuh karena kita tidak mendengarkan sepenuh hati.

  1.       Aku tau apa yang mau kamu katakan

“Sssttt, Ibu tau, kamu mau minta jajan lagi kan?”

Orang tua biasanya merasa sudah tau apa yang anak kita akan ucapkan. Padahal orang tua mungkin saja sok tahu, karena orang tua sibuk dengan asumsi yang ada di pikirannya. Alhasil, kita kembali gagal mencerna maksud sebenarnya dari sebuah percakapan. Padahal, bisa jadi gagasan yang akan diucapkan adalah ide jenius kan?

  1.       Aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan

Ini biasanya terjadi dalam percakapan antar orang dewasa. Seringnya orang dewasa yang menceritakan keluhan atau masalah yang disampaikannya hanya ingin didengarkan. Padahal mereka sebenarnya sudah tahu apa yang sebenarnya perlu dilakukan untuk mengatasi masalahnya tersebut.

  1.       Yang penting itu ceritaku, bukan ceritamu

Kita disibukkan dengan diri kita, sehingga kehilangan empati dengan keadaan orang lain. Saat anak bercerita, orang dewasa dengan keluasan pandangannya secara naluriah justru memberikan petuah yang panjang dan tidak jarang yang melebar dari konteks persoalan anak. Masing-masing fokus pada cerita kita saja, dan karenanya kita sulit memahami pesan yang disampaikan oleh lawan bicara kita.

Ada berapa banyak kesalahan yang pernah kita lakukan? Semakin banyak mengalami, bisa jadi diri kita adalah individu yang kurang empati. Karena empati berawal dari kemauan untuk mendengarkan dengan kedua telinga, dan merepson dengan hati.

Namun itu semua bisa dilatih. Salah satu caranya dengan mendorong diri berlatih untuk mendengar aktif, dengan beberapa cara:

  1.       Berusaha sepenuh hati untuk memahami makna yang disampaikan oleh lawan bicara
  2.       Berusaha memahami rasa yang disampaikan oleh lawan berbicara
  3.       Berusaha melihat fakta dibalik bahasa tubuh dan intonasi
  4.       Mau klarifikasi pernyataan yang belum dipahami oleh kita

 

(Artikel oleh: Sari Lestari, Editor: Afs)

 

Kabar Tanah Air di Masa Pandemi

Pada bulan Desember 2020, Tanah Air Foundation (TAF) melakukan survey online kepada kader posyandu, orang tua dengan anak usia balita hingga perguruan tinggi, dan guru sekolah dasar/ MI. Tujuan survey ini adalah untuk mengetahui perspektif ketiga kelompok tersebut mengenai pandemi yang melanda, menggali kendala serta kebutuhan dukungan yang mereka perlukan. Hasil survey ini lah yang kemudian menjadi dasar bagi Tanah Air Foundation untuk memulai sedekah publik Bantu Pengungsi Sinabung Cegah Stunting. 

Hasil survey kepada kader menunjukkan bahwa keterbatasan fasilitas dan alat perlindungan diri merupakan salah satu alasan mengapa para kader membatasi jenis pelayanan kesehatan yang mereka berikan kepada masyarakat. Selain itu, terbatasnya media komunikasi yang dapat digunakan untuk penyuluhan kunjungan ke rumah-rumah warga juga semakin membuat terbatasnya gerak kader. Data survey juga menunjukkan bahwa kapasitas kader dalam memberikan pelayanan posyandu di masa pandemi perlu ditingkatkan. Pengetahuan mengenai kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak di masa pandemi juga perlu dibangun. Misalnya persalinan, proses pemberian Air Susu Ibu (ASI), dsb.

Jumlah responden yang mengalami kesulitan mengakses pelayanan kesehatan mencapai 47%. Selain itu orang tua juga mengalami kesulitan keuangan (53%). Adapun jenis dukungan yang paling diperlukan adalah dukungan moril, terutama untuk mendampingi anak di masa pembelajaran jarak jauh serta menjalani hari-hari secara umum. Dukungan lain adalah yang terkait dengan bantuan ekonomi. Adapun rencana responden untuk dapat bertahan di masa pandemi adalah dengan mencari support system serta berencana/ sudah membuka usaha sampingan untuk menunjang perekonomian keluarga. 

(Survey Kebutuhan Guru di Masa Pandemi)

Adapun untuk kelompok guru, salah satu faktor penghambat proses pembelajaran di masa pandemic adalah karena kurangnya sarana dan prasarana (69%) disusul karena kendala pengetahuan dan psikososial  (31%); yaitu mencakup tantangan berupa pengetahuan untuk mengoperasionalkan perangkat digital dan kondisi psikososial murid, orang tua dan guru dalam mendukung proses PJJ.

Berbagi Beras Merah Saat Pandemi

12 Agustus 2020 lalu, 550 pax beras merah didonasikan oleh Yayasan Tanah Air Beta (YTAB) untuk 10 lembaga sosial di area Jakarta Selatan. Total beras yang didonasikan adalah sejumlah 16,5 kuintal beras merah, dengan masing-masing lembaga menerima lebih kurang 52-53 pax beras. Lembaga sosial penerima terdiri dari panti yatim, panti asuhan, serta yayasan untuk anak kurang mampu. Donasi ini disalurkan dalam merespon kondisi Covid-19 agar lembaga sosial tetap bisa mengonsumsi bahan makanan yang bergizi di tengah pandemi.

Selaim 3M (mencuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga jarak), asupan makanan adalah salah satu yang penting dikelola saat pandemi. Beras merah bisa jadi sumber karbohidrat yang baik untuk imun tubuh agar terhindar dari penularan Covid-19. Beras merah yang diketahui mengandung vitamin esensial, mineral, senyawa fenolik yang membantu melawan infeksi, bisa menjadi manfaat dalam variasi makanan berkualitas bagi bagi anak-anak dan remaja yang dikelola oleh lembaga sosial penerima bantuan. Sehingga, meskipun pertemuan dibatasi, dan belum meratanya pemberian vaksin Covid-19, lembaga sosial tetap bisa menjaga diri.

Donasi beras merah disambut dengan baik oleh para pengurus lembaga. Ucapan terima kasih mengalir, sebab donasi ini dapat membantu dapur lembaga sosial tetap mengepul dalam masa pandemi.

“Terima kasih atas donasinya. Ini membantu stok bahan pangan beras kami untuk beberapa waktu ke depan.” ucap syukur pengelola Panti Yatim Indonesia. (afs)

Merawat Masa Depan Di Masa Pandemi 

Indonesia memiliki 7 juta anak yang mengalami stunting sebelum pandemi COVID-19, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2018. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai negara kelima di dunia dengan balita stunting terbanyak menurut data dari UNICEF. Selain itu, nyaris setengah dari total ibu hamil mengalami anemia karena makanan yang dikonsumsi tidak mengandung cukup vitamin dan mineral (zat gizi mikro) yang diperlukan. Permasalahan di atas kemungkinan akan memburuk karena adanya pandemi COVID-19. 

Pelayanan posyandu menjadi salah satu alternatif yang bisa diandalkan untuk mengurangi resiko permasalahan gizi balita yang memburuk saat pandemi. Akan tetapi, sejak Maret 2020 kegiatan posyandu tidak dilakukan seperti biasa, ada pembatasan kegiatan yang dilakukan. Posyandu hanya dibuka untuk melayani bayi/balita yang membutuhkan imunisasi saja. Sedangkan untuk kegiatan pemantauan tumbuh kembang (tinggi dan berat badan) untuk sementara ditiadakan. Keadaan ini berlaku hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kawasan Relokasi Siosar, Karo, Sumatera Utara. 

Kader dan bidan desa salah satu posyandu di Siosar sedang melakukan penimbangan dengan menggunakan APD

Sebagai daerah yang kesadaran posyandunya masih dalam proses dibangun, pembatasan aktivitas posyandu di area Kawasan Relokasi Siosar tentu ini tidak bisa terus dibiarkan. Dengan penuh kehati-hatian, Juli 2020 posyandu pun kembali dibuka dengan protokol-protokol kesehatan yang harus dipatuhi oleh kader, orang tua balita, dan tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan posyandu. Tenaga kesehatan atau bidan desa wajib memakai alat pelindung diri lengkap yang terdiri dari baju hazmat, face shield, masker, dan sarung tangan. Sedangkan kader posyandu yang bertugas dan orang tua yang datang diwajibkan menggunakan masker. Namun pada praktiknya, tidak semua orang tua yang datang ke posyandu menggunakan masker. Alasannya sangat beragam, ada yang lupa membawa, tidak punya masker, dan juga merasa tidak nyaman saat menggunakan masker. 

Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena membuka potensi bahaya bagi seluruh peserta posyandu di hari buka posyandu. Cara untuk menyiasatinya adalah dengan membuat peraturan yang wajib ditaati oleh tiap orang tua, yaitu jika orang tua balita tidak menggunakan masker maka mereka harus pulang dan kembali lagi dengan menggunakan masker. Tapi bukan Siosar namanya jika tidak menantang. Peraturan ini tentu tidak selalu bisa dipraktikkan. Sebab ada kemungkinan orang tua balita tidak kembali lagi ke posyandu jika kader meminta mereka untuk pulang mengambil masker. Entah alasan faktor kesibukan lain, atau alasan paling mujarabnya adalah harus lekas pergi ke ladang untuk bekerja. 

Sehingga, trik paling tepat mengantisipasi hal tersebut adalah dengan memberikan peringatan dan mengingatkan para orang tua untuk wajib menggunakan masker di posyandu bulan selanjutnya. Kader posyandu pun tidak boleh alfa untuk mengingatkan protokol tersebut. Selain persoalan masker, infrastruktur juga jadi pekerjaan rumah bagi beberapa posyandu. fakta lapangannya adalah tidak semua posyandu di Siosar memiliki fasilitas kran air. Didukung dengan ketersediaan air yang hanya mengalir di jam-jam tertentu saja. Posyandu harus lebih kreatif menyediakan tempat cuci tangan, dan menggantikannya dengan hand sanitizer yang bisa digunakan oleh orang tua balita, kader dan bidan desa saat di posyandu.

Pembatasan aktivitas posyandu ternyata berdampak pada angka partisipasi orang tua yang datang ke posyandu. Jika sebelum pandemi angka kehadiran selalu diatas 70%, kini saat posyandu dibuka kembali di masa pandemi, tidak sampai 50% orang tua yang hadir. Menurut Kader posyandu, hal itu terjadi karena ada beberapa orang tua balita yang masih takut datang ke keramaian, dan juga ada yang belum mendapatkan informasi bahwa posyandu sudah dibuka kembali. Terlepas dari kondisi pandemi, masyarakat di Kawasan Relokasi Siosar memang kurang mendapatkan informasi kesehatan khususnya tentang kesehatan ibu dan anak. Biasanya untuk menambah paparan informasi tentang kesehatan ibu dan anak, para kader dan bidan desa melakukan penyuluhan secara personal di meja konseling dan membuat penyuluhan kelompok. Namun kembali lagi dengan kondisi pandemi, pelayanan posyandu tidak dilakukan dengan sistem 5 meja lagi, hanya meja pendaftaran, penimbangan, dan pelayanan kesehatan saja yang berfungsi. Kegiatan penyuluhan yang biasanya dilakukan tidak berjalan seperti biasa. Sehingga mau tidak mau mengurangi intensitas paparan informasi kesehatan demi ringkasnya waktu pelayanan di posyandu dan menghindari adanya penumpukan orang di dalam ruangan posyandu. 

Kawasan Relokasi Siosar bukanlah daerah dengan kasus stunting akut. Namun kesadaran orang tua dalam pemenuhan gizi anak masih rendah. Ditambah dengan kondisi pandemi, hasil penimbangan pada bulan Juli saat pertama posyandu dibuka kembali, kader menemukan balita yang mengalami penurunan status gizi dari normal menjadi gizi kurang. Tidak banyak memang, justru lebih banyak balita yang naik berat badannya. Namun tidak boleh terlalu cepat senang, sebab belum semua balita di kawasan ini yang terpantau tumbuh kembangnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah penurunan kehadiran orang tua di hari buka posyandu saat pandemi. 

Hal-hal yang teknis yang menjadi tidak ideal ini menjadi perhatian kader dan bidan desa di Kawasan Relokasi Siosar. Kader perlu mencari jalan agar bulan selanjutnya lebih banyak balita yang hadir sehingga bisa terpantau status gizinya. Pilihan kunjungan rumah rutin oleh kader untuk balita dengan masalah gizi tentu belum bisa dijadikan solusi, sebab hal ini belum diperbolehkan. Padahal momen kunjungan ini jadi wadah edukasi yang efektif dalam memberikan penjelasan lebih detail kepada orang tua balita. Orang tua pun dapat diberikan motivasi secara privat oleh kader agar bisa meningkatkan status gizi balitanya secara bertahap.

Mencegah penyebaran COVID-19 adalah prioritas, namun tetap perlu memperhatikan upaya-upaya dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan bayi. Tidak bisa dilakukan oleh kader posyandu dan bidan saja, namun sinergi dengan seluruh pihak lintas program dan juga sektor agar kegiatan posyandu di masa pandemi bisa lebih optimal dan taat protokol kesehatan. Sehingga meski pandemi belum terlewati, para bayi dan balita tetap terpantau tumbuh kembangnya, dan tidak melewatkan masa emasnya untuk tumbuh optimal sebagai calon generasi unggul di masa depan.

(Penulis: Ria Kesuma Perdani)

 

Program Pendampingan Masyarakat Rajagaluh

Sejuknya udara khas tanah Priangan dan sumber daya alam yang melimpah, menjadikan Rajagaluh sebagai surga di timur Jawa Barat. Hamparan sawah, lahan pertanian dan mulai berkembangnya UMKM olahan makanan, membuat Rajagaluh menyimpan potensi yang luar biasa untuk dikembangkan.

Hal itu ditangkap Opik, seorang pemuda pegiat masyarakat di Desa Rajagaluh Lor.  Opik memiliki semangat untuk membuat perubahan di Rajagaluh. Menciptakan kreasi dari barang bekas dan bambu sudah ia lakukan sebagai upaya untuk menggerakan pemuda di Rajagaluh. Asa yang Opik simpan dan coba tularkan, menjadi langkah awal untuk perubahan yang lebih besar.  Semangat Opik untuk memulai perubahan di Rajagaluh tidak berarti tanpa dukungan dari banyak pihak.

Inisiatif lain hadir dari sosok Dendi, petani jamur tiram yang memiliki harapan untuk mengenalkan produk kuliner Rajagaluh ke masyarakat luas. Dendi membuat berbagai olahan jamur tiram, sebagai upaya memberikan nilai tambah jamur sebagai komoditas, sekaligus menjadi sarana edukasi bagi masyarakat sekitar dalam budidaya jamur. Usaha yang sudah ditekuni selama lebih dari 10 tahun ini memberikan hasil yang positif. Kini, anak muda sudah mulai membuka mata mereka, melihat potensi desa, salah satunya melalui jamur tiram.

Program pendampingan masyarakat Rajagaluh lahir untuk mengoptimalkan potensi tersebut. Pengembangan kualitas lingkungan dan kesehatan berbasis masyarakat, akan menjadi fokus awal. Pengembangan sekolah sehat dan Posyandu berdaya, dinilai menjadi pintu masuk untuk memulai perubahan perilaku di Rajagaluh. Semua program tersebut akan dilakukan secara kolaboratif, di Saung nga-Riung Rajagaluh, yang menjadi ruang bagi masyarakat untuk berinteraksi, berkolaborasi dalam kegiatan pendidikan, sentra kerajinan dan produk Usaha Kecil Menengah Rajagaluh, serta kegiatan Posyandu masyarakat.

Mari kita bergerak bersama untuk mendukung semangat Opik, Dendi, dan aktor lainnya dalam meneruskan harapan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui Usaha Kecil Menengah, mengembangkan kualitas pendidikan, serta menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat di Rajagaluh.

Open chat